MENJELANG  PASKAH

         oleh:      Julie Sukur

            Hari telah larut malam ketika sambil memainkan remote control, mencari-cari acara yang menarik untuk saya tonton, ternyata film krimi yang biasa saya tonton sudah selesai.

Tanpa sengaja saya meng-klik salah satu channel TV yang sudah lama saya tidak tonton. Film yang sedang ditayangkan adalah mengenai perjalanan sengsara penyaliban Yesus. Sesaat saya memperhatikan film itu, ”Ach, cerita yang sama diulang dari tahun ketahun!“ pikirku. Namun karena tidak menemukan acara yang menarik sayapun memutuskan untuk melihat film tersebut.

Saya tahu, film itu akan menceritakan kehidupan Yesus Kristus. Antara lain saat Dia bersama murid-murid-Nya berkeliling mengajarkan firman Tuhan, saat Dia berpuasa, saat Dia dicobai setan, perjamuan terakhir, saat Dia dikhianati, ditangkap, diadili dan disiksa; saat Dia dikhianati oleh Simon Petrus sampai tiga kali, disalib dan wafat.

Semula saya tidak begitu antusias menyaksikannya, tetapi lama kelamaan, entah mengapa sayapun terhanyut dalam cerita yang sudah saya tahu persis bagaimana akhirnya.

Walaupun sudah tahu ceritanya, ternyata masih tetap ada keharuan yang dalam saat melihat Yesus disiksa. Lebih mengharukan lagi saat Dia tersungkur oleh beban salib dan diingkari oleh Petrus. Saya tidak dapat membayangkan, Petrus murid yang dikasihi oleh-Nya,  mengingkari Dia tiga kali. Dapatkah kita membayangkan Simon Petrus, orang yang terdekat dan terkasih, baik secara jiwa maupun fisik, mengingkari-Nya?

Saya lantas berpikir, akankah saya sendiri, mampu menerima-Nya? Dapatkah saya tidak melanggar perintah-perintah-Nya? Dapatkah saya mencintai-Nya? Benarkah saya sudah mencintai-Nya? Dalam bentuk bagaimanakah saya sudah mencintai Dia?

Dalam keadaan nyaman, santai dan aman, dalam rumah yang hangat, saat semua kebutuhan kita tercukupi, mungkin mudah bagi kita untuk mencintai Tuhan. Kita dapat berkata dengan yakin dan ringan, lihatlah karya Tuhan dalam diri saya! Namun mampukah saya berkata demikian dalam keadaan terancam, dihina, kelaparan, miskin dan dalam keadaan sakit parah? Akankah saya tetap berkata demikian dalam keadaan dilupakan, dilecehkan, tak berkawan dan ditinggalkan oleh orang-orang yang saya cintai?  Dalam keadaan demikian masih mampukah saya berkata “ Saya mencintai-Mu, Tuhan”?.

 

Tidak tahan dengan semua “apakah” diatas, sayapun pelan-pelan memalingkan muka dari layar TV. Ada perasaan malu dalam hati saya sendiri. Namun ternyata sikap itu tak membuat kepala saya berhenti dengan”apakah” yang lain. Satu persatu “apakah” yang lain muncul dan membuat saya semakin merasa kecil, lemah dan takut.

Murid-murid Yesus yang juga para rasul itu, mereka begitu dekat dengan Tuhan, melihat Tuhan langsung secara fisik, bercakap-cakap dengan-Nya, menyentuh memegang dan bahkan memeluk Yesus dengan penuh kasih, namun dalam keadaan terdesak toh tetap saja mereka dapat meninggalkan dan mengingkari Yesus. Tiba-tiba saya merasa kecil dan sungguh tidak tahu apakah saya mencintai-Nya.

Saya berdoa, itu benar, mencoba tidak berbuat jahat terhadap sesama, mencoba menjadi orang baik. Hari Minggu ke gereja, mendengarkan khotbah, membaca Alkitab , ikut aktiv di lingkungan dan lain-lain lagi kegiatan gerejawi , namun, benarkah itu merupakan sikap dari cinta saya kepada Tuhan? Benarkah semua itu saya lakukan karena cinta kepada-Nya? Bukan karena saya diajari bahwa yang namanya berbuat baik itu memang harus demikian? Atau karena itulah juga  yang tertulis di buku buku? Atau karena saya seorang Kristen?  Atau karena itu pula yang dilakukan orang-orang yang baik lainnya?

Tiba-tiba ada rasa takut. Hati saya pun terasa perih oleh kenyataan akan keraguan iman saya. Benarkah saya mencintai Tuhan? Itulah pertanyaan saya. Ataukah karena begitu rapuh iman saya akan Tuhan maka pertanyaan itu timbul?

Saya masih memalingkan muka dari TV. Film tadi tampaknya sudah tiba pada bagian penyaliban, dan malam semakin larut, hawa dingin mulai menyerangku, diluar sana kulihat salju tebal telah memenuhi jalanan putih bersih tampaknya. Seperti halnya misteri Paskah dimana Yesus harus mati dan bangkit.

Kisah penyaliban ini terus menghantui pikiran saya. Kisah ini mengajarkan saya, kelak saya akan dihakimi bukan hanya karena dasar iman saya kepada Kristus, melainkan juga atas dasar bagaimana iman saya pada Kristus itu diterjemahkan kedalam sikap melayani Kristus dalam hidup sesama.

Ya, Yesus tidak mati melainkan bangkit dan hidup dihati kita yang paling dalam. Yesus selalu dan akan selalu memberikan kebangkitan-Nya untuk menebus dosa-dosa kita. Salib, penderitaan, darah, dan erangan kesakitan bukan tanda kekalahan. Kebangkitan merupakan bukti kemenangan.

Pra-Paskah adalah masa dimana Allah mengundang kita untuk berlindung dibawah kepak sayap-Nya. Dia hidup untuk mengasihi kita. Dia bersedia menantang kematian demi kita yang dikasihiNya.

“ Selamat Paskah”, semoga misteri paskah yang kita rayakan boleh menjadi sumber kekuatan baru untuk tetap mempunyai harapan dan iman yang sungguh.

 

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked *.